I.PENDAHULUAN
I.I LATAR
BELAKANG
Pengawetan kultur sangatlah penting didalam industri pangan. Setiap industri akan membutuhkan starter yang
diawetkan, baik untuk tujuan jangka panjang maupun jangka panjang. Kultur yang
digunakan dalam proses fermentasi memegang peranan penting dalam keberhasilan
proses fermentasi ataupnproduksi metabolit mikroba. Adanya penyimpangn kultur
(misalnya terjadi penurunan viabilitas kultur ataupun kontaminasi) seringkali
berakibat pada kegagalan proses fernentasinya. Oleh sebab itu harus dilakukan
penanganan kultur secara tepat agar
diperoleh hasil fermentasi sesuai dengan standar yang telah ditentukan.
Beberapa persyaratan yang diperlukan agar kultur starter bermutu bagus antara
lain kultur harusseragam, tidak terkontaminasi, jumlah dan viabilitas sel relatif
tinggi serta mempunyai aktivitas sel yang cukup tinggi. Metode pengawetan
kultur antara lain dengan cara pendinginn, pembekuan dan pengeringan kultur.
Metode lain untuk pengawetan kultur adalah dengan cara imobilisasi kultur yang
selnjutnya disimpan dalam kondisi dingin atau beku.
I.2 TUJUAN
1. Mengawetkan kultur dengan pendinginan,
pembekuan dan imobilisasi
2. Mempelajari pengaruh suhu dan waktu
penyimpanan kultur terhadap viabilitasnya
IV.
PEMBAHASAN
Pengawetan kultur merupakan salah
satu cara memperpanjang laju pertumbuhan mikroba sehingga kulktur dapat
disimpan dalam waktu yang cukup lama. Pengawetan kultur pada umumnya dilakukan
dengan imobilisasi kultur yang dikombinasikan dengan pendinginan atau
pembekuan. Pengawetan dengan menggunakan kombinasi imobilisasi pendinginan dan
pembekuan pada percobaan ini dilakukan dilakukan terhadap kultur kapang
,khamir, dan bakteri.
Percobaan pertama yang dilakukan
adalah penyimpanan kultur dalam gliserol yng bisa dikatakan sebagai perlakuan
pendahuluan. Pada perlakuan ini kultur dimasukkan kedalam gliserol, dikocok
kemudian disimpan. Gliserol ini berfungsi sebagai cryoprotective agent
yang dapat melindungi membran sel mikroba dari kerusakan selama penyimpanan. Cryoprotective
agent merupakan senyawa yang dapat melakukan i9katan hidrogen dan dapat
berionisasi, dimana dengan adanya bahan pelindung dalam larutan dapat dapat
menolong untukmencegah injury sel dengan menstabilkan kandungn membran sela
selam prosedur pengawetan (morichi,1979)
Imobilisasi sel didefinisikan
sebagai sel mikroorganisme yang secara fisik ditempatkan dalam suatu ruang yang
dapat menahan aktifitas katalitiknya serta dapat digunakan berulang-ulang
(Hendrikardiyah,1996). Sel tersebut dapat dalam keadaan hidup, mati atau sela
dalam masa pertumbuhan. Imobilisasi bisa dengan menggumpalkan sel,mengisi sel
atau menempelkan selnya pada bahan pendukung sehingga dapat digunakan secara
kontinyu. Imobilisasi dapat dilakukan dengan beberapa metode yang dikategorikan
menjadi tiga. Salah satunya adalah metode penjeratan secara fisik namun tidak
diikat secara kimiawi. Metode ini merupakan metode yang paling umum digunakan.
Dalam praktikum imobilisasi yang dilakukan menggunakan metode penjeratan denga
polimer manik-manik (polimer nonorganik dan Na- alginat (polimer organik).
Keuntungan menggunakan metode ini adalah dapat dilakukan dalam kondisi ringan,
tanpa menggunakan bahan-bahan kimia yang dapat menginaktivasi enzim, dapat
dibuat dengan mudah untuk tujuan tertentu, sel-sel hidup dapat langsung
dihitung dengan metode cawan untuk pemeriksaan karakteristik sel-sel mikroba
setelah imobil, dan cocok untuk imobilisasi sel hidup. (chibata et al, 1983)
Imobilisasi dengan manik-manik
dilakukan dengan menginokulasikan suspensi mikroba kedalam tabung yang berisi manik-manik
steril. Setelah dikocok sisa cairan dibuang (dipipet secara aseptik).
Pengocokan dilakukan supaya sel-sel mikroba dalam suspensi dapat melekat dan
terperangkap pada matriks manik-manik, baik bagian luar maupun bagian dalam.
Sehingga sel-sel mikroba tidak ikut terbuang saat cairan sisa kultur
dikeluarkan. Kemudian manik-manik tersebut disimpan pada kondisi dingin dan
beku.
Penjeratan mikroba selain dilakukan
pada manik-manik yang telah tersedia juga dilakukan pada manik-manik sebagai
polimer buatan. Diharapkan dengan Na-alginat sel-sel mikroba dapat terjerat scara
lattice. Keuntungan menggunakan algina tadalah bersifat fleksibel (mampu
menahan tekanan dari dalam), mudah digunakan (karena tidak memerlukan pemanasan
agar larut), dapat membentuk gel pada suhu kamar sehingga kematian mikroba
akibat pemanasan dapat direduksi. Namun alginat memiliki kestabilan yang
rendah, porositas yang tinggi, dan bersifat biokompatibilitas (Smidsrod &
skjak-braek,1990). Pada pecobaan ini digunakan Na-alginat 5% dan 7%.
Imobilisasi menggunaka Na-alginat
dilakukan dengan mencampur suspensi kultur kedalam Na-alginat. Campuran dikocok
merata, kemudian diteteskan ke CaCl2 dengan syringe sehingga
membentuk gel. Pembentukan gel terjadi karena adanya ikatan antar kation kalsium
dan CaCl2 bereaksi secara kuat dengan anion karboksilat monovalen
dari algin. Ukuran dan benuk butiran-butiran alginat tergantung pada viskositas
larutan Na-alginat dan jarak penetesan. Penggunaan konsentrasi awal Na-alginat
lebih dari 2% penetrasi nutrient akan mengurangi pertumbuhan sel karena gel
menjadi kaku. Butiran alginat yang terbentuk tidak langsung dikeluarkan dari
CaCl2 tetapi direndam (± 1 jam) sehingga menjadi lebih padat dan
kompak teksturnya. Karena semakin lama waktu penetrasi antara alginat dan Ca
maka semakin meningkat pula kekuatan gel. Dengan meningkatnya kekuatan gel akan
mengatasi terjadinya gelatinisasi dipermukaan saja dan akan memperbaiki difusi
ion kalsium pada membran sel (Glicksman,1982). Setelah satu jam Ca-alginat
dicuci dengan larutan fisiologis steril untuk membersihkan sisa larutan CaCl2
yang melekat pada permukaan gel dan juga untuk menjaga tekanan
osmosis mikroba yang bersangkutan karena konsentrasi senyawa yang terdapt dalam
bakteri isotonik.
Teknik pengawetan kultur dengan
imobilisasi ini kemudian dikombinasikan dengan pendinginan dan pembekuan.
Manik-manik dan butiran-butiran alginat disimpan pada refrigerator dan freezer.
Perpaduan imobilisasi dengan pendinginan dapat memperlambat metabolisme mikroba
atau aktivitas enzim-enzimnya. Jika semakin rendah suhu yang digunakan maka
keefektifan dalam menghambat aktivitas mikroba dan enzim-enzim akan semakin
meningkat. Namun pada pendinginan ini aktivitas metabolisme dan enzim-enzim
mikroba tetap berlangsung meskipun dengan kecepatan yang jauh tereduksi.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan adalah faktor fisik yang bru[pa suhu, RH,
dan kecepatan udara dingin.
Pengawetan kultur dengan imobilisasi
sering dikombinasikan denganpembekuan. Karena dengan pengkombinasian tersebut
dapat menjamin ketahanan mikroba terhdap pengawetan dan diharapkan viabilitas
mikroba yang diawetka tetap baik dan lebih tahan lama. Pada kondisi beku
aktivitas metabolisme mikroba cenderung terhenti sehingga aktivits enzim dan
produksi metabolit berlangsung pada kecepatan rendah atu bahkan terhenti sma
sekali.
Setelah penyimpann pad suhu dingin
dan beku semua kultur mikroba diamati viabilitasnya denga menginokulasikannya kedalam
media PCB untuk kapang, khamir dan bakteri untuk selanjutnya diinokulasi. Hasil
yang didpat dengn imobilisasi manik-mnik untuk kelompok 1B pada kedua tabung
duplo sangat keruh (+++) dibagian atas dan bawah. Kelompok 2B pada tabung 1
keruh (+) dan tabung 2 sangat keruh (+++). Kelompok 3B tabung 1 sangat keruh
(+++) dan tabung 2keruh (++). Kekeruhan tersebut terjadi karena merupakan hasil
metabolit kapang sehingga hal ini menunjukan bahwa kapang yang diawetkan dengan
pendinginan masi viable. Begitu juga ntuk pengawetan bakteri yang dilakukan
pada kelompok 4B dan 5B dengan pendinginan masi viable karena terjadi
metabolisme bakteri.
Hasil yang diperoleh dari
imobilisasi alginat 5% dan 7% yang disimpan di freezer hampir keseluruhannya
masih viable. Namun untuk pengawetan khamir pada alginat 5% yang disimpan di
freezer pada kelompok 3B tidak mengalami kekeruhan. Hal ini mungkin disebabkan
terjadinya kontaminasi.kemudian untuk semua mikroba yang disimpan dalam
refrigerator juga tidak terdapak kekeruhan. Padahal seharusnya viabilitas
mikroba lebih baik jika disimpan pada suhu dingi daripada beku. Karena pada
suhu beku ada kemungkinan terjadinya chilling injury akibat terbentuknya
kristal es yang melukai sel. Namun hal tersebut dapat diatasi dengan penggunaan
cryoprotective agent yang merupakan komponen kimia yang dapat melindungi
sel dari kerusakan selam proses pembekuan dan penyimpanan beku karena dapat
mengurangi jumlah, ukuran dan kecepatan pertumbuhan kristal es, memberikan efek
koligatif, membantu berlangsungnya dehidrasi osmotik sebelum pembekuan, dapat
menurunkan titik beku sel, dan dapat bersifat buffer untuk mengimbangi adanya
perubahan pH selama pembekuan. Kekeruhan yang tidak terjadi atau tidak
viablenya mikroba yang disimpan dalam refrigerator mungkin juga terjadi karena
suhu yang dibutuhkan oleh kultur tidak sesuai sehingga pengawetan kulturnya
menjagi gagal. Diketahui bahwa teknik pengawetan dengan suhu dingin ini
memiliki kelemahan yaitu beresiko tinggi terhadap kontaminasi dan terdapat
resiko kehilangan viabilitas kultur. Mungkin ini juga menjadi salah satu faktor
mengapa mikroba tidak viable.
KESIMPULAN
Metode
pengawetan kultur aantara lain dengan cara opendinginan, pembekuan, imobilisasi
dan pengeringan kultur. Teknik pengawetan kultur dengan imobilisasi ini
kemudian dikombinasikan dengan pendinginan dan pembekuan. Pada praktikum ini
imobilisasi dilakukan dengan metode penjeratan pada polimer manik-manik dan
polimer alginat. Polimer-polimer tersebut digunakan sebagai tempat terjerat dan
melekatnya sel-sel mikroba. Dari data yang diperoleh pada imobilisasi
manik-manik secara keseluruhan masih viable yang ditandai adanya kekeruhan
sebagai hasil metabolit mikroba yang diawetkan. Sedangkan pada imobilisasi
alginat yang disimpan di freezer hanya satu yang tidak viable mungkin karena
terjadinya kontminasi. Sedangkan yang disimpan pada refrigerator tidak ada yang
masih viable mungkin terjadi karena suhu yang dibutuhkan oleh kultur tidak
sesuai sehingga pengawetan kulturnya menjagi gagal, kemudian teknik pengawetan
dengan suhu dingin ini juga memiliki kelemahan yaitu beresiko tinggi terhadap
kontaminasi dan terdapat resiko kehilangan viabilitas kultur. Mungkin ini juga
menjadi salah satu faktor mengapa mikroba tidak viable.
0 komentar:
Post a Comment